22 November 2008

Surat dari Tonke Dragt

Tonke Dragt (foto © Mark Sassen)Surat untuk Raja diluncurkan di acara Open Huis Erasmus Huis, Jakarta, pada 1 Desember 2007. Tonke Dragt menulis surat kepada para hadirin dan calon pembaca bukunya di Indonesia yang dibacakan pada saat peluncuran.

Pena Wormer mengucapkan banyak terima kasih kepada Yang Mulia Duta Besar Belanda untuk Indonesia Dr Nikolaos van Dam, Direktur Pusat Bahasa Belanda Erasmus Paul Peters, dan Koordinator Pusat Bahasa Belanda Erasmus Kees Groeneboer atas kesempatan yang telah diberikan, dan
last but not least kepada Kak Seto atas kehadirannya di acara peluncuran.

Untuk acara pelucuran buku, Tonke Dragt secara khusus menulis surat yang dibacakan pada saat peluncuran, yang bisa dibaca di bawah ini.


Sungguh kejutan yang menyenangkan bahwasanya buku saya De brief voor de koning diluncurkan (di sini) di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.

Kebetulan saya mempunyai kisah tersendiri dengan yang namanya kedutaan besar, tetapi itu berkaitan dengan buku saya yang lain (Aan de andere kant van de deur), sekarang saya mau sedikit menulis tentang Jakarta.

Sebab di Jakarta ini saya menghabiskan sebagian besar masa remaja saya, walaupun waktu itu Jakarta masih bernama Batavia. Zaman itu ia juga masih jauh dari kota dengan berjuta-juta penduduk, sebuah kota metropolitan, seperti sekarang ini.

Saya lahir di Batavia kira-kira tiga perempat abad yang lalu. Ada yang mengatakan bahwa tempat itu telah tiada, kecuali dalam kenangan. Itu tidak benar. Saya kumpulkan beberapa denah, satu denah tua Batavia dan satu denah baru Jakarta, dimana yang terakhir itu saya dapatkan dari buku panduan bagi pelancong dan wisatawan.

Sungguh, rasanya ingin sekali saya mengunjungi kembali tanah kelahiran saya, tetapi sampai sekarang hal itu belum kesampaian dan sekarang saya sudah terlalu berumur untuk bepergian jauh-jauh. Namun, kenangan yang terus hidup dalam ingatan barang tentu berharga juga. Pada denah Jakarta saya masih bisa menemukan beberapa lokasi yang bisa saya kenali.

Saya lahir pada 1930 di Rumah Sakit Tjikini, dan Kecamatan Cikini rupanya masih ada, walaupun dengan ejaan yang berbeda, dan selain itu juga ada bangunan rumah sakit, tetapi kemungkinan itu bukanlah rumah sakit yang sama.

Bahwasanya lapangan besar itu –dengan luas kira-kira satu kilometer– masih ada, itu saya tahu; namun, namanya bukan lagi Koningsplein, tetapi Lapangan Merdeka, pusat kota yang cukup penting tempat banyak hal yang bisa dilihat yang sudah tidak saya kenali lagi.

Termasuk bangunan-bangunan yang sudah ada pada masa saya. Tetapi kalau saya memerhatikan keseluruhannya, semua jalan dan bangunan penting itu, batin saya: Saya bakal kesasar di sana.

Saya juga mencari Kedutaan Besar Belanda, yang kalau tidak salah terletak agak di selatan, di suatu lokasi tempat kota semasa remaja saya belum berkembang sampai ke sana. Kadang kami jalan-jalan naik sepeda dan setibanya di selatan Banjir Kanal langsung kami sampai keluar kota. Namun, pertama kami mesti menyeberangi kanal lewat jembatan gantung yang kecil dan sedikit membuat waswas itu...

YM Dubes Belanda untuk Indonesia, Dr Nikolaos van Dam, dengan buku 'Surat untuk Raja'. (foto © Pena Wormer)Di Batavia, dengan diselingi beberapa kali di Surabaya dan Belanda, saya hidup sangat bahagia bersama orang tua dan dua adik perempuan saya. Beberapa jalan masih ada, seperti Jalan Pekalongan (kami dulu tinggal di No. 6) dan Jalan Besuki tempat berdirinya sekolah kami. Jalan Tosari, alamat rumah terakhir saya sebelum perang, sekarang bernama lain; Jalan Dr Kusuma Atmaja. Saat mempelajari denah Jakarta masa kini, saya tentu membayangkan jalan-jalan yang sama sekali lain dari yang ada sekarang: di mana-mana bangunan rendah dan banyak perkarangan besar dan kecil, tanpa ada bangunan apartemen dan pencakar langit. Dua taman umum di Jalan Dr Kusumu Atmaja (atau Tosariweg 13 bagi saya) masih ada. Lantas, betulkah gereja di denah itu Gereja Nassau saya yang dulu itu?

Dari Selatan ke Utara, mengikuti jalan yang panjang ke Priok dan Klub Marina di pesisir.

Saya masih ingat dengan laut dan juga tamasya sekolah ke salah satu pulau di teluk.

Di antara Utara dan Selatan saya berjumpa tempat-tempat yang membangkitkan kenangan yang kurang menyenangkan –di dalam daerah-daerah pemukiman yang saat zaman perang dipagari gedek dan kawat, kamp pengasingan Jepang. Saya, bersama ibu dan kedua saudari saya, pertama menghuni kamp Kramat. Rumah yang kami tempati bersama banyak keluarga lainnya cukup nyaman karena dilengkapi kebun yang indah, yang berbatasan dengan Sungai Ciliwung di Kramatlaan 15 –kalau tidak salah jalan itu sekarang bernama Kramat 5. Tidak lama kemudian kami dipindahkan ke kamp yang jauh lebih buruk. Tanpa dinyana di denah Jakarta saya menemukan jalan tempat kami dulu tinggal, yaitu Ciudjung No. 10 dekat Cideng Barat dan sejajar dengan Tanah Abang 2 (zaman saya, Laan Trivelli).

Di Kamp Jepang di Cideng saya, waktu itu 13 tahun, menulis cerita saya yang pertama –sebetulnya bukan cerita lagi, tetapi satu buku yang utuh! Bersama-sama dengan teman perempuan yang sepantaran. Kami menulis berdua. Dan saya yang menggambar ilustrasinya. Kami berdua doyan sekali membaca, tetapi karena di kamp bukunya sedikit sekali, kami memutuskan untuk membuat saja buku sendiri. Ternyata, itu memakan banyak waktu dan tenaga!
Kertasnya kami mengais di sana sini. Buku tulis sekolah yang lembar-lembarnya sudah kami tulisi dengan pensil kami hapus bersih. Yang cukup luar biasa adalah bahwa buku kami benar-benar RAMPUNG. Ceritanya sendiri biasa-biasa saja alias tidak orisinal. Namun, ia sarat petualangan dan jauh di kemudian hari saya menjadi sadar bahwa jika para jagoannya tertangkap mereka selalu bisa lolos. Terus, setiap santapan ditulis panjang lebar.

Jadi di Kamp Cideng, Batavia, artinya di kota Jakarta, saya memulai perjalanan saya sebagai penulis. Walaupun pada saat itu saya belum tahu bahwa itu akan menjadi profesi saya. Namun, saya menyadari betapa asyiknya mengisahkan cerita, secara lisan atau pun tulisan, dan dengan cara itu memikat perhatian orang. Salah satu negeri khayalan saya pada zaman itu –Babina– bahkan bisa ditemukan kembali dalam buku 'benaran' saya yang pertama, Verhalen van de tweelingbroers (Hikayat si Kembar) yang terbit pada 1961. Lebih banyak negeri khayalan menyusul setelah itu seperti Kerajaan Baginda Dagonaut dan Unauwen.

Tiga tahun di kamp konsentrasi. Ibu saya, saudari-saudari saya, dan saya sendiri di kamp perempuan, ayah saya di tempat lain, sebagai tawanan perang, entah di mana.
Kak Seto memberikan kata sambutan. (foto © Pena Wormer)
Alangkah bahagianya kami ketika kami berjumpa kembali dengan ayah pada 1945 sehingga keluarga kami lengkap kembali. Tahun-tahun di kamp itu tidak menodai kenangan indah masa remaja saya.

Soal kenangan masa remaja saya, maka perlu juga saya menyebutkan acara jalan-jalan keluar Batavia, ke kebun raya di Bogor (Buitenzorg) dan terus lagi ke pegunungan, ke Puncak dan Situgunung

Pun setelah perang usai, setelah sempat hijrah ke Belanda sebentar, saya beserta keluarga menetap di Batavia. Waktu itu kami tahu bahwa Batavia akan berganti nama. Jalan tempat rumah kami berdiri –Jalan Jawa 102, dengan pohon-pohon cemara sepanjang jalan setapak perkarangan– untuk zaman itu cukup ramai dilalui lalu lintas. Hari ini, jalan itu pastinya amat sangat padat, panjang dan lebar, sebuah jalan arteri tulen, yang di foto-foto tampil cukup mengesankan dan tidak bisa dikenali lagi: Jalan HOS Cokroaminoto!

Namun, Jalan Besuki masih menjadi cabang jalan dari Jalan HOS Cokroaminoto, tetapi sekolah lama saya kemungkinan sudah tidak ada. Zaman itu saya bersekolah di HBS (sekolah menengah) di Koningsplein/ Lapangan Merdeka Timur.

Di kemudian hari, pada 1950, ketika saya kembali di Belanda, saya menulis surat-surat ke Jakarta. Ayah masih bekerja di sana dan ia tinggal di sana selama beberapa tahun lagi. Saya juga mengirimkan gambar-gambar sebab saat itu saya kuliah di Academie van Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa) di Den Haag. Masih acap kali dengan rasa rindu kepada negeri masa remaja saya itu.

Sebagai penggambar dan penulis saya gemar membuat peta dan tulisan dari negeri-negeri yang saya karang atau, yang lebih tepat, yang saya temukan. Barangkali karena saya menjadi bagian dari dua negara yang berbeda, yang dua-duanya saya cintai, namun yang di satu pun saya tidak pernah benar-benar merasa betah...

Akan tetapi, dalam khayalan-khayalan saya, saya tidak pernah menyangka bahwa anak muda di kota dan negara kelahiran saya berkesempatan untuk berkenalan dengan beberapa dari negeri fantasi saya (yang sesungguhnya cukup riil), dan juga dengan Tiuri, yang bertolak menempuh perjalanan yang penuh petualangan dari negeri Raja Dagonaut ke Kerajaan Baginda Unauwen.

Dan sekarang saya telah kembali di titik awal, di mana De brief voor de koning dalam versi Bahasa Indonesia diluncurkan di Kedutaan Besar Belanda. Saya mengucapkan pembaca-pembaca baru saya, muda dan tua, banyak keasyikan penuh ketegangan.

Dan salam hangat dari saya kepada Anda semua di sini.

Tonke Dragt

Surat untuk Raja tersedia di toko buku Gramedia.

Tidak ada komentar: